Sedari kau pergi, aku mulai menopang rindu yang semakin sendu. Awalnya ringan, kemudian semakin berat, dan semakin berat. Semakin lama sulit untuk kubendung.
Suara tenor, lesung pipi kecil saat tersenyum, tawamu yang kadang tak beralasan, bahasamu yang terkadang terlalu formal, ekspresi kebingungan yang aneh, bahkan diammu melekat erat di dalam reffrain otak kecilku. Adakah yang kulewatkan?
Beberapa waktu lalu ketika kau mengunjungiku di sini, aku sangat bahagia. Bahagia yang sulit untuk dilukiskan. Maaf, karena tak bisa memberimu banyak waktu bersama ketika berada di sini. Kamu tahu pasti ada hal lain yang tak bisa kutinggalkan.
Aku berharap pertemuan-pertemuan yang sebentar itu selalu kau ingat, sebagaimana aku merekamnya dengan rapi di memoriku sejuta gigabyte-ku ini. Pertemuan di mana aku bisa bertukar pikiran secara komprehensif denganmu, merenungkan cita dan mimpi, bukan hanya sekedar mengisi kerinduan yang sudah lama kosong.
Belakangan aku mulai khawatir, jika 'tentangmu' akan memenuhi region korteks di belahan otak kiriku, bahkan menjalar hingga ke otak kananku. Aku berusaha meminimalisir hal itu, termasuk rasa rindu ini. Aku ingin suasana dalam sistem saraf pusatku berjalan normal saja, tanpa terjadi eksitasi maupun inhibisi. Kau lebih tahu mengenai hal ini tentunya.
Untungnya, menurut #FitnahOrFacts Golongan Darah O aku adalah orang yang cukup pandai dalam menyembunyikan perasaan, sehingga rindu yang begitu sendu ini, yang tergambar secara eksplisit kuekspresikan ala kadarnya, tak berlebihan. Ini rindu sederhana yang mewakili isi hatiku, tanpa kata atau bahasa yang rumit.
Tuhan, tolong sampaikan padanya.